Di suatu sekolah SMP elite di Jakarta Selatan.
“Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiingggggggggggggggggggg”
Suara bel menggema di seluruh penjuru sekolah
memecah keheningan yang mencekam. Bermacam-macam ekspresi tampak pada muka murid-murid
kelas 9 yang sedang berkutat serius dengan
soal-soal di hadapan mereka. Ada yang segera menarik napas lega karena ujian
selesai, ada yang merasa murung karena waktu kurang cukup dan terpaksa di
menit-menit terakhir mengisi sembarangan, dan ada yang bersorak-sorai,
berteriak-teriak, bahkan banyak yang berjingkrak-jingkrak kegirangan karena
masa ujian sudah berakhir tanpa peduli dengan hasil ujian mereka karena penderitaan mereka selama setengah tahun telah
selesai, masa-masa Try Out dan PelTam sudah berakhir. Hari ini adalah hari kemerdekaan yang telah mereka nanti-nantikan ...
Para guru hanya bisa mengelus dada mereka, berusaha
memahami tingkah laku gila murid-murid kelas 9, karena hari ini adalah hari terakhir
mereka ujian Unas. Beberapa guru segera memperingatkan murid-murid agar
mengumpulkan kertas soal ujian dan lembar jawaban mereka. Para murid segera beranjak mengumpulkan kertas
ulangan mereka dan keluar dari ruangan.
Seorang siswa berperawakan tinggi, berkulit putih bersih dan berwajah tampan dengan rambut pendek hitam sedikit mengombak langsung berdiri saat mendengar bel pelajaran berdering, ia menjadi orang pertama yang berdiri, namanya Andy, dengan berjalan santai sambil membawa kertas ujian dan lembar jawaban, ia menaruh keduanya di atas meja guru dan segera keluar ruangan dengan mulut bersiul-siul riang. Langkahnya santai namun pasti menuju ke ruangan loker, mengambil tasnya kemudian beranjak pergi menuju ke pintu gerbang.
Toni dan Andre menjadi orang ketiga dan kelima
keluar ruangan ujian dan segera ke ruangan loker, mengambil tas mereka kemudian
menyusul langkah Andy yang berjalan santai menuju ke gerbang depan sekolah.
“Hey, Andy, wait for us!” Seru Toni sok Inggrisan sambil melambaikan tangannya sementara Andre berjalan santai di belakangnya dengan kedua tangannya disusupkan
ke dalam saku celana.
Andy hanya menoleh, tersenyum melihat kedua
temannya, tak menghentikan langkah kakinya, “Bagaimana? Tepat khan perkataanku? UNAS?
Belajar? Hah!!!” dengusnya meremehkan.
Toni, tinggi sedikit bongsor dan berambut ikal kemerahan, segera mengayunkan tangannya ke atas bahu Andy, merangkulnya, “Hahahahaha, tepat! Tepat sekali
kata-katamu, kawan! Buat apa susah-susah belajar kalau di luar sana sudah
tersedia kunci jawaban! Hahahaha!“ Toni
tertawa puas dan menoleh pada Andre, “Ndre, ga rugi khan keluar duit segitu?”
Andre, yang memiliki perawakan tinggi dan berbadan
tegap seperti seorang model, berjalan di belakang keduanya hanya tersenyum simpul dan mengacungkan kedua
jempolnya.
Andy dan Toni hanya tertawa melihat tingkah Andre.
“Omong-omong, Ndy, bagaimana kau bisa dapatkan
kunci jawaban yang tepat seperti itu? Kalau tidak salah Kemendiknas khan sudah
menjamin kalau tidak ada bocoran soal tahun ini?” Tanya Toni ingin tahu,
sambungnya. “Apalagi setiap pengiriman dan pembukaan soal selalu ada polisi
yang berjaga, jadi pengamanannya sangat ketat!”
Andre mempercepat langkahnya sehingga mereka bertiga berjalan bersisian, ia di sebelah kiri dan Toni di sebelah kanan, Andy di tengah mereka berdua.
“Kau seperti tidak tahu saja, dengan uang maka tidak
ada yang mustahil di dunia ini!” Jawab Andy dengan pongah sambil menjentikkan
jarinya. Ia kemudian merangkul kedua temannya dan berbisik, “Papaku ada kenalan
di Kemendiknas, hanya dengan telpon pada sekretaris papaku maka semuanya beres.”
“Hahahahaha, kau memang T O P, Ndy! Top banget, ga
rugi punya papa seorang presiden perusahaan besar!” Sahut Toni dengan senang
tapi sedetik kemudian melanjutkan dengan nada sedih, “Tapi limabelas juta untuk
semua pelajaran lumayan juga menguras kantung, bulan ini uang sakuku habis
buat beli kunci jawaban itu.”
“Hmph, ga usah berkata memutar-mutar, aku tahu
kalau kau mau pinjam kartu kreditku untuk bulan ini khan?” dengus Andy sambil
mengetatkan tangannya pada leher Toni.
“Heheheheheh, boleh toh? Kita khan best buddy,
kawan baik.” Toni menyengir pada Andy, wajahnya sedikit merah karena sedikit
malu, tapi masih tak lupa berusaha menjilat kawannya itu.
Andy segera menghentikan langkahnya diikuti oleh
kedua temannya, melepaskan tangannya dari kedua temannya, merogoh saku
celananya kemudian mengeluarkan dompet dan menarik sebuah kartu kredit berwarna
emas, melemparkan kartu itu pada Toni, sambil berkata, “Kau ini ... memang muka
badak ... nih ..., ingat maksimal 15 juta saja bulan ini, awas kalau lebih!”
Toni segera menangkap kartu kredit emas itu dan
melongo, “Wow .... Go ... Gold Visa?”, ia segera mengangkat wajahnya dan menatap
pada Andy dengan pandangan memuja.
Andy segera mundur dan menjauh dari Toni, “Apa?”
“Bisakah aku menjadi budakmu seumur hidup?”, sahut
Toni sambil berjalan mendekati Andy, yang segera merinding semua bulu kuduknya.
“Awas kau kalau berani memelukku”, Andy segera mengacungkan tinjunya. Toni
menunduk lemas tapi kemudian segera memasukkan kartu emas itu ke dompetnya
dengan hati2 dan memandanginya dengan lama.
Andre melihat tingkah kedua temannya hanya bisa
menggelengkan kepalanya dan tertawa dalam hati, tapi menyempatkan diri bertanya
pada kawan kayanya ini, “Kapan kau ganti kartu kredit? Bukankah sebelum ini
masih silver?”
“Sekretaris papaku memberikannya padaku kemarin,
hadiah buat kelulusanku katanya.” Jawab Andy dengan acuh, tapi terkandung rasa pedih
dan kesepian di dalamnya.
Andre tercengang dan bertanya, “Unas saja baru hari
ini selesai, tapi papamu sudah memberikan hadiah kelulusan kemarin? Percaya
banget papamu kalau kau akan lulus.”
“Gimana gak percaya, wong kepala sekolah kita sudah
dihadiahi duit seratusan juta.” Andy kembali menjawab temannya dengan nada tak
peduli. Kepalanya menunduk dan dengan nada kosong melanjutkan, “Dan tadi pagi Pak
Hadi, butlerku memberitahu kalau papaku tidak akan dapat menjengukku tiga bulan
ke depan karena ada bisnis penting. Jadi ia menyuruh sekretarisnya memberikan
hadiah ini padaku lebih dahulu.”
Andre hanya bisa melongo, dalam hatinya berkata, “Edan
banget papanya, demi membeli kelulusan anaknya mau-maunya menerima permintaan
kepala sekolah seratusan juta. ”
Andre berdiam sesaat, tapi rasa ingin tahu
menggelitiknya lagi, dengan nada hati-hati ia bertanya, “Bagaimana dengan
mamamu?”
“Jangan tanya tentang wanita itu padaku” Sahut Andy
dengan sengit.
“Oke, sori .. sori” Andre segera menarik diri dari
pembicaraan yang sensitif itu.
Andy menarik napas panjang sambil menengadahkan
wajahnya, berusaha mengusir rasa marah, sedih, dan kesal dalam hatinya, lalu menoleh
pada Andre dan bertanya, “Bagaimana denganmu kawan? Kau butuh bantuan?”
Andre hanya menggelengkan kepalanya, menjawab
pendek “Tidak usah!” Andy yang tahu
sifat temannya yang satu ini menganggukkan kepalanya, “Kalau butuh apapun, kau
katakan saja padaku, kau ini temanku jadi jangan sungkan-sungkan, oke!”
Andre mengangkat tangan kirinya dan memberikan
tanda oke, lalu berjalan pergi, melambaikan tangan kanannya pada Andy sambil
bergumam, “Aku pergi dulu.” Ia segera mengambil kunci dari sakunya dan menuju
ke tempat parkir sepeda motor yang sudah di depan mata mereka. Andre mengeluarkan motor Ninja nya kemudian menghidupkan dan segera pergi namun sempat melambaikan tangan pada Andy. Andy membalasnya sambil meneriakkan, "Hati-hati kawan !"
Andy menoleh pada Toni yang masih memandangi kartu
emas di dompetnya dengan pandangan melamun, ia lalu meninju pundak Toni sambil beranjak pergi, “Hei, Ton,
kau tidak pulang?”
Toni segera tersadar dari lamunannya dan menjawab tergagap, “Oh aku pulang ... pulang ... !”, ia segera berlari menyusul Andy yang sudah lebih dulu berjalan di depannya.
Keduanya menuju gerbang depan sekolah yang sudah
dibuka sejak bel berdering. Tampak suasana di halaman sekolah dan di depan
gerbang mulai ramai oleh murid-murid yang akan pulang. Andy dan Toni yang
keluar dari gerbang segera menuju ke arah sebuah mobil sedan BMW berwarna hitam
di antara deretan mobil-mobil yang parkir di depan sekolah dan disambut oleh
seorang pria setengah baya yang membukakan pintu belakang sedan bagi Andy.
Toni segera menepuk pundak Andy dan berkata, “Aku
pergi dulu ya, jangan lupa dua hari lagi aku akan menjemputmu untuk berkumpul
di rumah Nina merayakan bebasnya kita dari ujian yang menyiksa ini!” Toni
menyengir lalu tanpa menunggu balasan dari Andy segera berlari menuju ke
seberang jalan di mana sebuah mobil Kijang Innova menunggunya.
Andy tertegun dan berseru
pada Toni, “Nina? Siapa Nina? Hoi, Toni!”, tapi Toni hanya tertawa dan meleletkan lidahnya, “Jangan khawatir,
kau hanya perlu menemaniku saja, nanti aku yang urus semuanya!” Ia melambaikan
tangan kanannya kemudian masuk ke dalam mobil Kijang Innova.
Andy hanya bisa terbatuk pahit. Temannya yang satu
ini sungguh licik, baru memberitahunya sekarang dan tak memberinya kesempatan
untuk menolak. Tapi Andy tahu, menolakpun percuma, karena sifat Toni yang tak
mau menyerah dan pantang ditolak, yang akan selalu merongrongnya sampai ia
mengiyakan, salah satu sifat yang ia benci tapi kagumi dari temannya yang satu
ini, dan juga yang menjadi salah satu alasan mengapa Toni bisa menjadi teman
karibnya selain Andre.
Andy hanya bisa memandangi mobil Kijang Innova yang
beranjak pergi, dan baru tersadar saat dipanggil oleh Pak Hadi, butlernya. Ia
segera masuk ke dalam mobil, memasang headset di kedua telinganya, lalu menutup
matanya, sementara Pak Hadi segera menyalakan mobil dan menjalankannya. Hanya
suara lagu T-ara “Number Nine” yang terngiang di telinganya.
== OO ==
Di sebuah klinik Psikologi terkenal di Jakarta
Pusat
Seorang gadis cantik sedang berbaring dengan diam,
matanya memandang langit-langit berwarna kuning krem dengan pandangan kosong,
kemudian kedua matanya perlahan-lahan menutup seakan-akan tertidur. Di sampingnya
seorang dokter wanita cantik berumur pertengahan dua puluhan, dengan nama Marin
di atas saku di dada kanannya, sedang berusaha menghinoptisnya dan menggunakan
kesempatan ini untuk mengobati trauma gadis muda ini.
Beberapa saat kemudian dr. Marin membangunkan gadis
cantik itu dan segera menoleh ke seorang wanita cantik paruh baya berwajah
oriental di sofa tak seberapa jauh dari mereka berdua, ia menggelengkan kepalanya pada wanita paruh baya
itu. Wanita paruh baya itu merasa hatinya seperti jatuh, matanya berkaca-kaca,
dan hidungnya terasa kecut, ia segera menarik napas dalam-dalam dan menguatkan
hatinya.
Dr. Marin menghampiri wanita paruh baya ini dan
duduk di sebelahnya, lalu berkata “Bu Diana, seperti yang sudah berulang-ulang
kali saya katakan sebelumnya bahwa trauma anak gadis ibu, Airin, sudah terlalu
mendalam dan sedikit sulit untuk disembuhkan, tapi bukanlah sesuatu hal yang
mustahil, karena itu janganlah putus harapan. Ingatlah bu, satu-satunya orang
yang dapat membantu Airin adalah ibu Diana sebagai ibu kandungnya. Ibu
merupakan penopang mentalnya.”
Wanita paruh baya yang dipanggil Diana merasa
terharu dan menahan tangisnya lalu menganggukkan kepalanya, menyahut, “Terima
kasih Dr. Marin. Terima kasih.”
Marin melanjutkan perkataannya dengan nada sedikit
riang, “Dan hari ini saya melihat ada sedikit kemajuan dari Airin, jadi saya
percaya dalam dua tiga bulan ini, Airin mungkin bisa kembali ke sekolah.
Bukankah dua bulan lagi tahun pelajaran baru akan dimulai?”
Tubuh Bu Diana segera bergetar mendengar perkataan
dr. Marin, ia segera bertanya dengan nada penuh harapan, “Benarkah? Benarkah
itu dokter? Airin bisa sekolah? Apa itu artinya traumanya bisa disembuhkan
dalam dua tiga bulan ini?”
Dr. Marin segera menjawab dengan nada menenangkan, “Bu
Diana, apa yang saya maksudkan di sini bukanlah traumanya bisa disembuhkan,
tetapi yang saya maksudkan bahwa dengan terapi yang saya lakukan ini,
kemungkinan untuk Airin dapat berinteraksi kembali dengan orang lain sangatlah
besar. Yang pertama kali harus kita sembuhkan adalah rasa takutnya terhadap
orang lain. Yang lain bisa menunggu. Tidak baik bagi seorang gadis muda seperti
Airin, walaupun mengalami PTSD, selalu terkurung di kamarnya tanpa melakukan
apapun. Harapan saya, dengan terapi dua tiga bulan ini, ketakutannya akan orang
lain akan sedikit terobati sehingga ia bisa berinteraksi dengan orang lain dan
tidak merasa terlalu ketakutan lagi. Sehingga kita bisa mengusahakannya untuk
kembali bersekolah. Saya percaya, jika Airin kembali bersekolah dan bergaul
dengan teman-teman yang sebaya dengannya, itu akan membantu pemulihan kondisi
kejiwaannya.”
Bu Diana tampak sedikit kecewa mendengar penjelasan
itu kalau anaknya masih belum sembuh total, tapi ia juga bersyukur, “Terima
kasih Dr. Marin, saya percaya dengan diagnosa dokter, saya akan melakukan apapun
yang dokter sarankan. Saya akan berusaha mencari sekolah yang cocok baginya.”
“Saya sarankan agar Airin jangan disekolahkan di
kota besar seperti Jakarta atau Surabaya, mungkin kota kecil lebih baik.”
“Baiklah, saya nanti akan membawanya kembali ke
kampung halaman saya, di sana juga ada sekolah yang cukup baik kualitasnya.
Saya akan segera mengurus segalanya sehingga Airin bisa segera bersekolah
setelah kondisinya lebih baik.” Bu Diana menyahut dengan penuh rasa haru.
Akhirnya setelah hampir setahun menjalani
pengobatan dan terapi kejiwaan, Airin, anak tercintanya bisa kembali
bersekolah. Ia membenci dirinya sendiri mengapa membiarkan Airin yang cantik
dan ceria mengalami trauma yang dalam seperti ini, kalau bisa ia ingin
mencincang dan mencabik-cabik pria jahat itu dan memakan hatinya. Tapi sekarang
yang terpenting adalah pemulihan dari Airin, yang lainnya bisa menunggu.
Apalagi pria itu sudah dipenjara tak bisa mengganggu Airin lagi.
Bu Diana segera menuntun Airin keluar dari klinik
dan tak lupa mengucapkan terima kasih pada dr. Marin serta berjanji akan
membawa Airin dua hari lagi untuk menjalani terapi kembali.
Airin dengan pandangan mata kosong menerawang
mengikuti ibunya yang menuntun tangannya ke dalam mobil. Tiap kali mereka
berpapasan dengan orang, tangan Airin mencengkeram erat tangan ibunya, wajahnya
ditundukkan dan badannya gemetaran dengan keras, mulutnya membisikkan kata-kata
penuh rasa takut berulang-ulang, “Selamatkan aku mama, selamatkan aku mama,
selamatkan aku mama ...”
Bu Diana mengetatkan pelukannya, hatinya
teriris-iris melihat kondisi anaknya seperti ini. Ia membisikkan kata-kata
penghiburan pada anaknya, “Jangan takut, mama di sini, jangan takut, Airin,
mama akan selalu di sampingmu.”
Dokter Marin sebenarnya menyarankan agar Airin
dimasukkan ke Rumah Sakit Jiwa sehingga lebih mudah pengawasan dan pengobatan
kejiwaannya, tapi Bu Diana menolaknya dengan keras, karena Rumah Sakit Jiwa
identik dengan ‘kegilaan’, dan ia tak ingin anaknya mendapatkan embel-embel ‘orang
gila’ karena diopname di Rumah Sakit Jiwa. Ia lebih memilih merawat anaknya di
rumah walaupun cukup merepotkan dirinya, tapi untungnya Airin meskipun kondisi
kejiwaannya tidak stabil tapi tidak berbuat hal yang aneh-aneh, hanya mengurung
diri di kamarnya, tidur dengan pandangan menerawang kosong. Ia hanya meminta
pembantu rumahnya yang sudah lama ikut dengannya agar sering-sering mengecek
kondisi anaknya, dan jika ada apa-apa harus segera menelponnya.
Bu Diana segera membawa anaknya ke dalam mobil lalu
dengan hati penuh pengharapan mengarahkan mobilnya kembali ke rumah mereka.
Hari ini adalah hari yang cukup menggembirakan dari antara hari-hari setahun
belakangan ini, karena kata-kata harapan yang diberikan oleh dokter Marin.
Entah sudah berapa rumah sakit dan berapa klinik
serta berapa puluh dokter psikologi yang ia datangi untuk menangani kondisi
kejiwaan anaknya, tetapi semua dokter tak memberikan jawaban yang memuaskan
sampai suatu saat di satu seminar psikologi ia mendapatkan nama dokter Marin,
lulusan Universitas Harvard, baru membuka klinik di Jakarta beberapa bulan
tetapi sudah menjadi fenomenal.
Dengan untung-untungan ia memutuskan untuk menemui
dokter Marin ini setengah tahun yang lalu dan dokter muda ini hanya
satu-satunya dokter yang mampu memberikan jawaban yang memberikan pengharapan
baginya. Dan selama dirawat dan diterapi oleh dokter Marin, walaupun lamban
tapi perubahan yang tampak selama dirawat enam bulan cukup signifikan.
Dahulu Airin setiap bertemu orang akan merasa
sangat ketakutan sehingga tidak bisa menggerakkan kakinya, bahkan kadang ia
akan berjongkok memeluk lututnya dan gemetar ketakutan sambil menangis dan
berbisik tiada hentinya meminta mamanya untuk menyelamatkan dirinya.
Dengan terpaksa Diana meminta dokter Marin agar mau
datang memeriksa anaknya, dan untungnya dokter Marin mau mengerti dan rutin memeriksa
dan memberikan terapi Airin sampai minggu kemarin di rumahnya. Hari ini
merupakan tes bagi Airin dan ternyata cukup memuaskan karena walaupun masih
merasa sangat ketakutan tetapi masih bisa berjalan. Diana percaya, karena
dokter Marin mengatakan kalau dalam dua tiga bulan ini Airin bisa bersekolah,
maka Airin pasti bisa bersekolah.
Ia memutuskan untuk segera mencari sekolah yang
sesuai dengan kondisi anaknya dan mencari orang untuk mewakili dirinya
menjalankan bisnisnya di Jakarta karena ia memutuskan akan kembali ke Jember
bersama anaknya.
== OO ==
Jiaah..udah pindah ke sini si mimin.. :-)
ReplyDeleteTLT kapan di lanjutin min?
Btw, nice post. 👍